Web Counter


Menurut Anda Bagaimana Tampilan Web ini..???

Buku Tamu








Inaugurasi FKH 45 [Avenzoar]

MASTITIS SUBKLINIS

MASTITIS SUBKLINIS


[MJ1] Indonesia merupakan negara dengan potensi pengembangan usaha perternakan yang tinggi. Ketersediaan pakan, iklim yang menunjang , dan keragaman jenis ternak yang ada merupakan faktor penunjang perkembang pesat industri peternakan di Indonesi. Salah satu tujuan pembangunan peternakan adalah perbaikan gizi masyarakat dengan perbaikan kualitas protein hewani. Hal ini selaras dengan  salah satu upaya pemerintah untuk meningkatkan konsumsi protein hewani bagi penduduk Indonesia dengan mengembangkan peternakan sapi perah (Tuasikal 2003). Tujuan pemerintah adalah meningkatkan taraf pendidikan, pengetahuan, memenuhi asupan atau kecukupan gizi, mengentaskan kemiskinan dan mengurangi jumlah pengangguran. Susu merupakan hasil produksi peternakan sapi perah yang menghasilkan protein hewan. Segala cara telah dilakukan pemerintah guna meningkatkan produktivitas peternakan sapi perah di Indonesia. Namun usaha tersebut terhambat oleh penyakit yang secara langsung maupun tidak langsung dapat menurunkan produksi susu. Salah satu penyakit yang menghambat produksi susu adalah radang ambing yang dikenal dengan sebutan mastitis.
Mastitis didefinisikan sebagai radang jaringan interna kelenjar ambing (Jamilah 2001). Istilah mastitis berasal dari kata ”mastos” yang artinya kelenjar ambing dan ”itis” untuk inflamasi (Swartz 2007). Peradangan dapat terjadi pada satu kelenjar atau lebih dan mudah dikenali apabila pada kelenjar susu menampakkan gejala peradangan yang jelas. Kelenjar ambing membengkak, oedematus berisi cairan eksudat disertai tanda-tanda peradangan lainnya, seperti ; suhu meningkat, kemerahan, rasa sakit dan penurunan fungsi. Mastitis juga dapat menyebabkan penurunan kualitas dan kuantitas susu. Hal ini menjadi masalah karena dapat menyebabkan kerugian yang besar akibat penurunan produksi susu, penurunan kualitas susu, biaya perawatan dan pengobatan yang mahal. Selain itu, seringkali sulit untuk mengetahui kapan terjadi peradangan akibat mastitis sehingga pengobatan pada kasus yang klinis menjadi terlambat.
Secara ekonomi, mastitis banyak menimbulkan kerugian karena adanya penurunan produksi susu yang mencapai 70% dari seluruh kerugian akibat mastitis. Air susu yang dihasilkan berubah sifat, seperti : pecah, bercampur endapan fibrin, reruntuhan sel maupun gumpalan proteinKerugian lain timbul akibat adanya residu antibiotika pada susu, biaya pengobatan dan tenaga kerja, pengafkiran, meningkatnya biaya penggantian sapi perah, susu terbuang, dan kematian pada sapi serta adanya penurunan kualitas susu (Kirk et al. 1994; Hurley dan Morin 2000).
















Gambaran Ambing Normal    Gambaran Ambing
          Mastitis 

Sumber:(www.google.com)                          sumber: (www.google.com)

Persembuhan terhadap mastitis bukan hal yang mudah, resistensi atau kepekaan mastitis pada sapi, kambing, atau domba bersifat menurun. Gen-gen yang menurun akan menentukan ukuran dan struktur putting (Swartz et al 2006). Penanganan yang terlambat akan menyebabkan terjadinya mastitis kronis yang ditandai dengan ambing mengalami kematian sel (nekrosa) dan mengecil atau atrofi sehingga sapi tidak lagi dapat menghasilkan susu dan harus diafkir. Selain bersifat menurun, mastitis merupakan penyakit yang dapat menular dari hewan satu ke hewan yang lainnya.

Jenis Mastitis
Menurut Blowey dan Edmondson (2010), mastitis dapat dibedakan menjadi mastitis klinis dan subklinis. Mastitis klinis merupakan infeksi ambing yang gejalanya dapat dilihat atau diraba oleh panca indera. Gejala pada ternak meliputi kelemahan, tidak mau makan, demam, dan depresi. Susu hasil sapi yang terkena mastitis klinis memiliki perubahan fisik antara lain, memancar tidak normal, terlalu encer atau terlalu kental, menggumpal, berbentuk seperti mie, warna berubah menjadi semu kuning, kecoklatan, kehijauan, kemerahan atau ada bercak-bercak merah, rasa menjadi getir atau agak asin, serta bau yang agak harum dari susu menjadi asam. Kemudian ambing pada mastitis klinis kronis akan mengalami atrofi (mengecil) dan membentuk jaringan ikat (fibrosis) (Radostits et al 2006).
Mastitis subklinis merupakan infeksi pada ambing yang tidak memperlihatkan gejala fisik dan merupakan mastitis yang paling umum terjadi, yaitu kira-kira 15 – 40 kali lebih banyak dibandingkan dengan mastitis klinis (Hurley dan Morin 2000).

          





 










             

              Sumber: (www.google.com)


Penyebab Mastitis
Bakteri yang menjadi penyebab utama mastitis pada sapi adalah Streptococcus agalactiae, Staphylococcus aureus, Mycoplasma bovis, dan Corynebacterium bovis yang merupakan bakteri yang bersifat menular (contagius). Beberapa bakteri lingkungan, seperti Streptococcus dysgalactiae, Streptococcus uberis dan bakterikoliform seperti Escherichia coli, E. Feundii, Aerobacter aerugenes, dan Klesibella pneumoniae juga dapat menyebabkan mastitis pada sapi. Beberapa patogen yang tidak biasa antara lain adalah Pasteurella spp., Pseudomonas aeruginosa, Arcanobacterium (Actinomyces)pyogenes, Mycobacterium bovis, Nocardia asteroides, Bacillus cereus, Serratia marcescens, Citrobacter spp., bakteri anaerob, fungi dan khamir (Radostits et al., 2006).
Description: I:\Mastitis jeff\mastitis large.jpg
Sumber: (www.google.com)

Persentase kejadian Mastitis Subklinis Pada Sapi Perah Di Indonesia
Kejadian mastitis 95 – 98% merupakan mastitis subklinis, sedangkan 2 – 3% merupakan mastitis klinis yang terdeteksi (Sudarwanto 1999). Mastitis sub klinis merupakan kasus yang paling banyak dan sering terjadi di lapangan pada peternakan sapi perah Sudarwanto (1999). Kejadian mastitis subklinis pada sapi perah di Indonesia sangat tinggi (95-98%) dan menimbulkan banyak kerugian. Streptococcus agalactiae dan Staphylococcus aureus merupakan 2 bakteri utama penyebab mastitis subklinis.
Berdasarkan hasil survei Aksan dan Pahlevi (2006) prevalensi kasus mastitis klinis di kecamatan Grati kabupaten Pasuruan pada tahun 2005 adalah 7,2%, sedangkan kasus mastitis subklinis tidak terdata sebab peternak tidak melaporkan terjadinya mastitis subklinis. Mastitis subklinis yang terjadi hanya ditandai dengan terjadinya penurunan produksi dan mutu susu di wilayah kerja KUTT Suka Makmur Grati Pasuruan. Penurunan produksi dan mutu susu menyebabkan harga susu peternak menjadi turun, dan juga dapat menyebabkan ditolaknya susu dari peternak oleh koperasi sehingga susu harus dibuang sebab tidak layak untuk dikonsumsi (Subronto, 2003).
Kerugian akibat Mastitis Subklinis Pada Sapi Perah Di Indonesia
Kejadian penyakit mastitis subklinis seperti gunung es, hanya sedikit data yang diketahui (mastitis klinis) dan sisanya tidak dapat diketahui (mastitis subklinis). Jika penyakit mastitis subklinis tidak bisa dipantau terutama di peternakan rakyat maka akan banyak susu yang terbuang. Koperasi tidak bisa menampung dengan alasan susu mengandung jumlah bakteri yang banyak, artinya peluang susu yang dihasilkan peternak sapi perah kita untuk memasuki pasar nasional ataupun internasional akan tertutup. Untuk mengatasi hal tersebut maka cara satu-satunya adalah dengan mencegah dan mengobati mastitis subklinis tersebut. Maka atas dasar itulah perlu penanganan yang tepat terhadap kasus mastitis subklinis (Franes, 2009).              

Patogenesa
Para ahli membagi patogenesis mastitis menjadi beberapa fase : invasi, infeksi, infiltrasi, berturut-turut dari mulai yang akut sampai kronis (Damarjati 2008).Fase Invasiditandai dengan masuknya organisme ke dalam puting karena lubang puting yang membuka atau terluka mempermudah infeksi dan didukung dengan lingkungan yang buruk.Fase Infeksiterjadi karena pembentukan koloni oleh mikroorganisme yang dalam waktu singkat menyebar ke lobuli da alveoli.Fase selanjutnya adalah fase infiltrasi, mikroorganisme sampai ke mukosa kelenjar, tubuh akan bereaksi dengan memobilisasi leukosit dan terjadi radang. Adanya radang menyebabkan sel darah dicurahkan ke dalam susu, sehingga sifat fisik seta susunan susu mengalami perubahan.










Description: I:\Mastitis jeff\nbt0405-430-F1.gif
Sumber: (www.google.com)

Penularan mastitis dari ambing tercemar ke ambing sehat dapat terjadi melalui kain lap ambing yang kotor, tangan pemerah yang kotor, urutan pemerahan yang salah dan peralatan pemerahan yang kotor. Menurut Radostits et al (2006), ada 3 faktor yang mempermudah terjadinya mastitis yaitu kondisi hewan atau ternak (hewan tua, tahap laktasi, fase kering kandang), kondisi lingkungan yang buruk akibat manajemen yang kurang baik, dan virulensi agen patogen penyakit.

Diagnosa Mastitis
Pemeriksaan fisis kelenjar susu dilakukan secara inspeksi dan palpasi, dilakukan setelah pemerahan seluruh isinya sampai habis. Perlu diperhatikan konsistensi kelenjar, suhunya dan adanya bentukan-bentukan abnormal pada puting. Terjadinya peningkatan jumlah sel somatis menjadi parameter utama dalam penetapan diagnosa. Pemeriksaan berdasarkan adanya sel di dalam air susu meliputi uji katalase, Whiteside Test (WST), Californian Mastitis Test (CMT), Wisconsin Mastitis Test, dan Brabant Mastitis Test (Subronto 2003). Selain itu dapat juga dengan Aulendorfer Mastitis Probe (AMP) dan IPB Mastitis Test (Sudarwanto 1998)
Deteksi mastitis subklinis masih sulit dilakukan karena tidak ada gejala klinis pada penderita. Deteksi dini pada sapi perah dengan metode tidak langsung memakai CMT adalah usaha memperkecil resiko terjadinya mastitis. Namun reagen CMT sulit didapat dan mahal harganya untuk kalangan peternak biasa, sehingga untuk pendeteksian mastitis bagi peternak biasa dapat menggunakan deterjen sebagai bahan alternatif yang lebih murah, mudah dan langsung didapatkan di lapangan.
Pencegahan dan Pengendalian Mastitis
Pencegahan mastitis ditujukan pada kebersihan kandang, kebersihan sapi, serta pengelolaan peternakan. Kandang yang selalu bersih akan mengurangi kemungkinan pencemaran ambing oleh patogen. Hal ini disebabkan oleh kebiasaan sapi berbaring saat sedang memamah biak, apabila lantainya kotor maka dengan mudah sapi tersebut akan terinfeksi oleh patogen. Bakteri Streptococcus dan Staphylococcus selalu dapat diisolasi dari kulit sapi yang secara klinis nampak normal, memandikan sapi mempunyai pengaruh pencucian kuman secara langsung.
Jarak antar sapi yang terlalu dekat memungkinan penularan semakin besar. Pedet yang biasa menyusu langsung dari puting induknya, juga dapat bertindak sebagai perantara dalam penularan radang dari sapi yang sakit ke yang sehat karena pedet dapat menyusu pada sapi betina yang bukan induknya. Sebaiknya pedet segera disapih dan diberi minum dari ember. Pemerahan susu dengan tangan maupun mesin juga mampu menularkan patogen dari satu sapi ke sapi yang lain. Tangan pemerah harus dicuci tiap kali akan memulai memerah dan pindah dari satu sapi ke sapi yang berikutnya.
Disinfeksi dengan cara perendaman (dipping) dengan alkohol 70% selama beberapa menit dapat mengurangi infeksi ambing dengan drastis (Subronto, 2003). Obat-obatan yang biasa dipakai meliputi Chlorhexidine 0,5%, kaporit 4%, dan Iodophore 0,5-1%. Untuk pencegahan kontaminasi obat terhadap air susu, hendaknya ambing di cuci dengan bersih sebelum pemerahan. Sosialisasi kepada perternak perlu dilakukan terhadap prinsip-prinsip pencegahan penyakit, kontrol susu yang diedarkan, serta tindakan awal bila jumlah sel yang ditemukan terlalu tinggi.
Urutan pengobatan pada kasus mastitis yaitu ambing mastitis diperah sampai habis atau kosong untuk mengeluarkan toxin, reruntuhan sel dan hasil metabolisme mikroba. Pada pemerahan terakhir (sore hari), obat antimastitis (antibiotika) dimasukkan ke dalam puting.  Sebaiknya dilaksanakan pemeriksaan bakteriologis dan antibiogram untuk menentukan jenis obat yang akan digunakan.  Harus diperhatikan aturan pakai obat tersebut, misalnya pengobatan dilakukan 3 hari berturut-turut dengan jarak pengobatan 24 jam.  Ambing kembali diperah sampai kosong setelah 12 jam pengobatan.  Ambing diperah lebih dari 2 kali sehari (sesering mungkin). Uji mastitis dilakukan 2 ~ 4 minggu setelah pengobatan.  Bila jumlah sel radang tetap tinggi, sebaiknya dilakukan uji bakteri dan antibiogram kembali.

Penularan dari ambing mastitis ke ambing sehat dapat terjadi melalui kain lap ambing yang digunakan pada seluruh ternak, tangan pemerah yang  kotor  dan urutan pemerahan yang salah serta peralatan pemerahan yang tidah hiegenis. Pencegahan  mastitis dapat dilakuakn dengan cara selalu menjaga kebersihan kandang dan lingkungannya, melaksanakan prosedur sebelum, pada saat dan setelah pemerahan dengan baik dan benar , melaksanakan pemeriksaan mastitis secara teratur setiap bulan,  pemberian antibiotika ke dalam puting pada masa kering kandang yang dilaksanakan setelah minggu pertama kering kandang dan diulang 2-3 minggu sebelum beranak.






DAFTAR PUSTAKA

Aksan dan C. Pahlevi. 2006. Hasil Validasi Data dan Survei Parameter Statistik Peternakan. Dinas Peternakan dan Kehewanan Kabupaten Pasuruan. Pasuruan
Blowey R dan Edmondson P. 2010. Mastitis Control in Dairy Herds Second Edition. CAB International : United Kingdom
Damarjati. 2008. Pengaruh Mastitis Terhadap Susu yang Dihasilkan. [terhubung berkala]. http://mikrobia .files.wordpress.com. [8 September 2011]
Franes P. 2009. Penggunaan Ekstrak Sirih Merah (Piper crocatum) Sebagai Green-antiseptik Untuk Penanganan Mastitis Subklinis Sebagai Titik Tolak Perbaikan Management Kesehatan Pada Peternakan Sapi Perah Rakyat. [terhubung berkala]. http://pradusuara.wordpress.com/2009/. [8 September 2011]
Hurley WL, Morin DE. 2000. Mastitis Lesson A, Lactation Biology, ANSCI 308. [terhubung berkala]. http://classes.aces.uiuc.edu/AnSci308. [7 September 2011]
Radostits OM, et al. 2006. A textbook of The Diseases of Cattle, Horses, Sheep, Pigs and Goats Tenth Edition. Saunders Elsevier : Philadelphia
Subronto. 2003. Ilmu Penyakit Ternak (Mamalia) I Edisi Kedua.Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 309 – 351
Sudarwanto M. 1999. Mastitis subklinis dan cara diagnosa. Makalah dalam Kursus Kesehatan Ambing dan Program Pengendalian Mastitis. IKA-IPB (tidak dipublikasikan), Institut Pertanian Bogor, Bogor
Tuasikal, Sugoro BJI, Tjiptosumirat, Lina M. 2003. Pengaruh Iradiasi  Sinar Gamma pada Pertumbuhan Streptococcus agalactiae sebagai Bahan Vaksin Penyakit Mastitis pada Sapi Perah. Jurnal. Sains dan Teknologi Nuklir Indonesia, Vol IV. ed-2. P3TIR- Batan: Jakarta
Wibawan IWT, Pasaribu FH, Huminto H, Estuningsih S. 1995. Ciri biovar Streptococcus agalactiae sebagai petunjuk infeksi silang antara sapi dan manusia. Laporan Hasil Penelitian Hibah Bersaing Perguruan Tinggi IV Tahap-1.Ambing dan Program Pengendalian Mastitis. IKA-IPB (tidak dipublikasikan)

0 komentar: