MASTITIS SUBKLINIS
Indonesia merupakan
negara dengan potensi pengembangan usaha perternakan yang tinggi. Ketersediaan
pakan, iklim yang menunjang , dan keragaman jenis ternak yang ada merupakan
faktor penunjang perkembang pesat industri peternakan di Indonesi. Salah satu
tujuan pembangunan peternakan adalah perbaikan gizi masyarakat dengan perbaikan
kualitas protein hewani. Hal ini selaras dengan
salah satu upaya pemerintah untuk meningkatkan konsumsi protein hewani
bagi penduduk Indonesia dengan mengembangkan peternakan sapi perah (Tuasikal
2003). Tujuan pemerintah adalah meningkatkan taraf pendidikan, pengetahuan,
memenuhi asupan atau kecukupan gizi, mengentaskan kemiskinan dan mengurangi
jumlah pengangguran. Susu merupakan hasil produksi peternakan sapi perah yang
menghasilkan protein hewan. Segala cara telah dilakukan pemerintah guna
meningkatkan produktivitas peternakan sapi perah di Indonesia. Namun usaha
tersebut terhambat oleh penyakit yang secara langsung maupun tidak langsung
dapat menurunkan produksi susu. Salah satu penyakit yang menghambat produksi
susu adalah radang ambing yang dikenal dengan sebutan mastitis.
Mastitis didefinisikan
sebagai radang jaringan interna kelenjar ambing (Jamilah 2001). Istilah
mastitis berasal dari kata ”mastos” yang artinya kelenjar ambing dan ”itis”
untuk inflamasi (Swartz 2007). Peradangan dapat terjadi pada satu
kelenjar atau lebih dan mudah dikenali apabila pada kelenjar susu menampakkan
gejala peradangan yang jelas. Kelenjar ambing membengkak, oedematus berisi
cairan eksudat disertai tanda-tanda peradangan lainnya, seperti ; suhu
meningkat, kemerahan, rasa sakit dan penurunan fungsi. Mastitis juga dapat
menyebabkan penurunan kualitas dan kuantitas susu. Hal ini menjadi masalah
karena dapat menyebabkan kerugian yang besar akibat penurunan produksi susu,
penurunan kualitas susu, biaya perawatan dan pengobatan yang mahal. Selain itu,
seringkali sulit untuk mengetahui kapan terjadi peradangan akibat mastitis
sehingga pengobatan pada kasus yang klinis menjadi terlambat.
Secara
ekonomi, mastitis banyak menimbulkan kerugian karena adanya penurunan produksi
susu yang mencapai 70% dari seluruh kerugian akibat mastitis. Air susu yang
dihasilkan berubah sifat, seperti : pecah, bercampur endapan fibrin, reruntuhan
sel maupun gumpalan proteinKerugian lain timbul akibat adanya residu
antibiotika pada susu, biaya pengobatan dan tenaga kerja, pengafkiran,
meningkatnya biaya penggantian sapi perah, susu terbuang, dan kematian pada
sapi serta adanya penurunan kualitas susu (Kirk et al. 1994; Hurley dan Morin
2000).